Tari kuda lumping alias Jaranan alias tari jaran kepang adalah tari tradisional jawa timur yang menggambarkan sekelompok prajurit yang menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi terbuat dari anyaman bambu atau disebut juga kepang yang dibentuk menyerupai kuda. Kepang kuda dihiasi dengan cat dan tali rafia yang dibentuk menjadi bulu-bulu kuda dan kain yang beraneka warna untuk
hiasan. Penari kuda lumping juga dihiasi dengan pakaian yang khusus mirip seorang perajurit dan ditambah dengan hiasan yang berwarna-warni. Penari kuda lumping juga memegang cambuk yang dibuat atraksi dengan membunyikan cambuk keras-keras.
Untuk menambah daya tarik bagi penonton, tarian kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, atraksi kekebalan, atraksi magis seperti makan beling atau makan daging mentah. Tari kuda lumping biasanya juga ditampilkan dengan tari-tari jawa yang lain seperti bantengan dan reog ponorogo. Namun cara membawakan tari kuda lumping di setiap daerah di jawa sering ditampilkan menurut adat daerah masing-masing.
Sejarah Tari Kuda Lumping (Jaranan)
Asal usul Tari kuda lumping sesuai dengan tradisi dan pengaruh budaya pada masa kerajaan yang berkuasa dahulu. Bagi masyarakat Jawa Timur sebelah barat ( Blitar, Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan ) tari kuda lumping lebih terpengaruh oleh kisah wadyabala Prabu Kelana Sewandana dari Kedhiri melawan Singo Barong raja dari Kraton Bandarangin, serta kisah para raja wilayah atau adipati pembangkang yang ada di Ponorogo terhadap Prabu Kertabhumi, Raja Majapait. Maka pakaian dan para penarinya lebih modis dan menunjukkan keberadaan kaum ningrat. Penarinya pun pada umumnya adalah wanita dengan dandanan yang cantik.
Tari Kuda lumping/ Jaran Kepang lebih cenderung dari kisah-kisah raja-raja kecil yang saling berperang atau berebut pengaruh untuk meluaskan wilayahnya. Seperti kisah peperangan antara Turyanpadha ( sekarang Turen – Malang ) dengan Tuksari ( sekarang Sumbersari – Malang) dan pemberontakan warga Malang, Surabaya, Lumajang, dan Pasuruan melawan Sultan Agung dari Mataram. Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis ( di wilayah pinggiran Malang, Lumajang, dan Surabaya ) tari ini berasal dari tari rakyat jelata atau kelompok masyarakat bawah. Tarian berawal dari keinginan kaum jelata untuk memiliki kuda ( Jawa: turangga, Tengger: kapal ) yang saat itu merupakan kendaraan yang cepat tapi mahal dan hanya dimiliki oleh para adipati atau penguasa setempat. Sehingga mustahil mereka memilikinya. Keinginan memiliki yang begitu kuat maka dibuatlah kuda kepang lalu ditunggangi dengan kaki mereka sebagai kaki kuda. Dengan tangan kiri memegang leher kuda (kepang) dan tangan memegang cambuk serta kedua kaki menghentak-hentak bagaikan kaki kuda maka terciptalah tarian Kuda lumping. Alat musik yang sederhana berupa slompret, kendang, kempul, bonang, dan gong ( sautan ) serta pakaian yang sederhana pula ( celana pendek hitam dan kaos loreng merah putih ) semakin menunjukkan bahwa tari ini berasal dari rakyat jelata. Ikat kepala kadang memakai udheng wulung ( khas Ponorogo ), udheng merah dan ungu khas Madura, bahkan udheng lorek khas Jawa Tengah. Sedang kaos tetap loreng putih merah dengan memakai rompi hitam, dan celana warna hitam. Penarinya juga pada umumnya kaum pria. Penari putra Jaran Kepang dengan pakaian yang sederhana. Alat musiknya lebih sederhana juga.
Memang harus diakui sumber tertulis asal usul tari ini amat sedikit, atau bahkan boleh dikatakan tidak ada. Hanya cerita – cerita turun temurun dari para leluhur yang ‘kadang’ kita dengar dari kakek-nenek kita yang masih mau berbagi. Kecenderungan anak muda sekarang, akibat pengaruh budaya dan agama, yang menganggap Tari Jaran Kepang mengandung unsur magis dan klenik sehingga tak menarik lagi bagi mereka. Bahkan, sekedar mengetahui kisahnya saja kadang dianggap ‘tak layak’ Gerakan tari Jaran Kepang. Pada umumnya Tari Jaran Kepang gerakannya dilakukan oleh seluruh anggota gerak tubuh. Mulai kaki, tangan, jemari tangan, bahu dan pundak, leher dan kepala, serta pinggang dan perut. Dengan irama yang dinamis dan kuat, tari ini sungguh memerlukan tenaga yang cukup banyak. Pada masyarakat petani di luar Suku Tengger yang ada di Malang, kita sering melihat mereka berjalan dari rumah sambil membawa cangkul atau garu ( alat membajak sawah ) dan menggiring sapi atau kerbau adalah hal lumrah. Dalam mengelola sawahnya sering menggunakan cangkul. Gerakan mencangkul yang banyak menggunakan tangan ini pula yang banyak mempengaruhi gerakan tangan dalam menari.
No comments:
Post a Comment